Minggu, 23 Juni 2013

The Circle

Dalam kesendirianku siang tadi, terasa sebuah kekosongan... Yang aku sendiri tidak dapat mengenalinya.

Entah mengapa, kekosongan itu masih menghujam setelah ku coba untuk berjalan. Yang kudapat hanyalah sebuah kekosongan lagi. Rumah - Rumah yang kulewati terlihat tua. Bahkan rumah - rumah yang terlihat baru cat-nya. Muka - muka yang kulihat terasa sangat asing. Tak ada lagi yang kukenali... "Daerah ini biasa kuisi dengan canda dan tawa bersama teman - temanku" pikirku dalam hati, sekarang terasa seperti mengingkari keberadaanku disini.

Suara uap air menarikku dari lamunan menyedihkan tersebut, jam 8:30 malam, dan aku mengambil sebuah teh celup dan menyiapkan sebuah gelas besar. "ini akan menjadi malam yang panjang sepertinya..." Kulihat dalam toples gula yang sudah hampir habis, sekumpulan semut mati. "Setidaknya mereka mati demi satu tujuan, yang pastinya mulia bagi mereka..." Dan lamunanku kembali ke satu jam sebelumnya.

Seorang temanku datang kerumah, tanpa diduga. Dia datang bersama putrinya, anak umur 5 tahun yang tentunya sangat berisik. Kita berbicara, dan berbicara. Seandainya pembicaraan tadi dilakukan dalam bahasa inggris, semua pasti menggunakan past-tense. Sepertinya masa depan sudah tidak semenarik dulu lagi ya? Atau memang sekarang ini masa depan yang dulu kita takutkan?

Pembicaraan menjadi pelan ketika kami mengingat teman - teman kami yang telah meninggal... Ya benar mereka meninggal, tetapi dimataku mereka tidak mati. Sepertinya, aku dan temanku yang tidak meninggal ini yang terlihat mati. Aku melihat temanku memarahi putrinya, ketika dia hendak menyentuh bara api rokok yang masih menyala merah. Anak kecil tertarik terhadap semua hal yang berbahaya... Aku terkejut betapa akan betapa lamanya kita berdua mulai takut terhadap marabahaya... Temanku yang kulihat sekarang, tampak seperti figur seorang bapak yang biasa kita berdua lihat di angkutan umum, figur yang biasa kita jadikan bahan cemoohan. Apakah sekarang temanku ini - atau aku - yang menjadi figur yang ditertawakan anak muda?

"Dia meminta doa" kata temanku, menyambung pembicaraan kita sebelumnya mengenai salah seorang teman yang telah meninggal, Membangunkanku dari sebuah lamunan singkat yang menghabiskan setengah batang rokok. "Selama itukah kita terdiam?" pikirku dalam hati. Aku merasa temanku ini tergilas oleh perasaan yang sama, hanya saja pengaruh tradisi yang membesarkan kita sebagai laki - laki yang membuat kita tidak bisa membicarakannya. Dan bagiku, membicarakan hal ini sepertinya tidak bisa mengisi dalamnya lubang yang menganga didalam kita berdua. Dan obrolan berlanjut... Saling bertukar berita tentang teman - teman kita yang lain, yang kita anggap masih hidup, seakan - akan kita berdua terlihat seperti dua orang yang terpojok dalam sebuah pertarungan, memanggil - manggil nama mereka dalam keputus - asaan.

Ingin sekali aku berkata kepadanya "kita sudah mati bro..." Namun sepertinya dia memahami dengan sangat kalimat yang tercekik dileherku. Dan aku memahami perasaannya. Dulu hal ini biasa kita lakukan, kumpul bersama, terdiam dalam kerumunan. Namun kali ini perasaan tersebut seperti berdengung berkali - kali lipat. Sebuah kenangan yang tergali kembali, namun sekarang sudah penuh dengan belatung kesedihan.

"Kesedihan?"

"Apakah ini yang dirasakan oleh orang - orang lainnya generasi sebelum kita?"

Aku menolak konsep keunikan dalam manusia, karena sejatinya setiap kepribadian adalah unik, dan unik adalah normal. Namun pertanyaan kedua sangat mengusik kedamaianku. Apakah ibu dari temanku ini merasakan hal yang sama ketika suaminya meninggal? Apakah suami-nya ketika masih hidup merasakan hal yang sama? Apakah dulu kedua orang tuaku merasakan hal yang sama? Apakah mereka sekarang masih merasakan hal yang sama? Disaat mereka berpapasan dengan kepingan kenangan mereka?

Dan habis sudah rokok-ku... Ku buang jauh ke taman dibelakang kita duduk. Kulihat bungkus rokok, dan secara tiba - tiba sianak kecil berteriak girang "rokok-nya habiiiiis". Aku hanya bisa tersenyum, dan temanku melanjutkan pembicaraan, memaksakan sebuah senyum yang sama. Kita berdua saling menjilati luka - luka kami, pikirku. Dan secara bodoh kita berdua merasa dengan ini kami bisa menghidupkan kembali apa yang sudah lewat.

"Waktu berjalan cepat..." katanya, entah kepadaku atau untuk dirinya sendiri. Yang pasti aku merasa, waktu, bukanlah teman yang biasa kita ajak bersenda gurau seperti dulu. Dia pamit pulang, karena putrinya terus merengek untuk kembali ke ibunya. Aku kembali tersenyum. Betapa nikmatnya memiliki perasaan seperti itu, sebuah rasa aman yang didapat dari pelukan seorang ibu.

Setengah gelas teh sudah habis, 9:25 malam. Kekosongan itu tidak hilang, hanya tumpukan - tumpukan kekosongan yang membuatnya terasa seperti penuh...